Perjalanan Hijrah & Ujian Nabi Ibrahim عليه السلام
Awal Perjalanan Iman
Nabi Ibrahim ‘alaihissalām dikenal sebagai Khalīlullāh — kekasih Allah. Beliau hidup di tengah masyarakat Babil yang tenggelam dalam penyembahan berhala. Dengan lembut beliau menyeru kaumnya agar menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun, seruan itu justru ditolak, bahkan beliau diancam dan dilemparkan ke dalam api.
Namun Allah berfirman:
“Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”
(QS. Al-Anbiyā’: 69)
Api besar itu pun padam tanpa menyentuh dirinya. Dari peristiwa itu, Ibrahim semakin yakin bahwa hanya Allah-lah pelindung sejati. Ia pun berkata dengan penuh ketundukan:
“Sesungguhnya aku akan berhijrah kepada Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(QS. Al-‘Ankabūt: 26)
Hijrah dari Babil: Langkah Menuju Tanah Berkah
Dengan tekad bulat, Nabi Ibrahim meninggalkan negeri kelahirannya, Babil, menuju arah barat. Ia ditemani oleh istrinya yang salehah, Sarah, dan keponakannya yang beriman, Lūṭ bin Hārān.
Mereka meninggalkan rumah, harta, dan keluarga demi menjaga kemurnian tauhid. Saat itu, Sarah belum memiliki anak, namun ia tidak mengeluh sedikit pun. Dalam kesunyian perjalanan, hanya keimanan dan doa yang menjadi kekuatan mereka.
Allah pun mengabadikan kisah hijrah mereka dalam firman-Nya:
“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lūṭ ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiyā’: 71)
Negeri yang dimaksud adalah tanah Syam, yang kelak dikenal sebagai negeri para nabi — meliputi wilayah Palestina, Syam, dan sekitarnya.
Menetap di Tanah Syam
Di negeri Syam, Ibrahim dan Sarah hidup dengan damai. Allah menurunkan wahyu kepadanya, memberi kabar gembira bahwa:
“Tanah ini akan menjadi milik keturunanmu setelahmu.”
Sebagai tanda syukur, Ibrahim membangun sebuah mazbah — tempat untuk menyembelih kurban sebagai ibadah kepada Allah. Di sana pula beliau sering mendirikan kemah di timur Baitul Maqdis, kota suci yang kelak menjadi saksi sejarah banyak nabi.
Masa Sulit dan Perjalanan ke Mesir
Beberapa tahun kemudian, negeri Syam dilanda paceklik. Tanaman tidak tumbuh, air sulit ditemukan, dan harga bahan makanan melonjak tinggi. Untuk menyelamatkan keluarganya, Ibrahim memutuskan untuk berhijrah ke Mesir, negeri yang saat itu dikenal subur dan makmur.
Namun, di balik kemakmurannya, Mesir kala itu diperintah oleh seorang raja yang zalim dan bernafsu terhadap wanita cantik. Ia dikenal sebagai penguasa yang tamak dan sombong.
Ujian Besar: Sarah dan Raja Mesir
Begitu Ibrahim dan Sarah tiba di Mesir, kabar tentang kecantikan Sarah sampai ke telinga raja. Para pengawal berkata:
“Wahai raja, ada seorang lelaki datang bersama wanita yang sangat cantik. Tak seorang pun di negeri ini sebanding dengannya.”
Sang raja pun memerintahkan agar wanita itu dibawa ke istananya.
Ketika utusan datang, mereka bertanya kepada Ibrahim:
“Siapakah wanita ini?”
Ibrahim menjawab dengan tenang:
“Dia adalah saudariku.”
Beliau berkata demikian bukan karena berdusta, tetapi untuk menjaga keselamatan dan kehormatan istrinya, sebab dalam iman — Sarah memang saudarinya dalam agama Allah.
Sebelum Sarah dibawa ke istana, Ibrahim berpesan:
“Wahai Sarah, di muka bumi ini tidak ada seorang mukmin pun selain aku dan engkau. Raja ini telah bertanya tentangmu, dan aku telah mengatakan bahwa engkau saudariku. Maka janganlah engkau mendustakan ucapanku.”
Doa Sarah dan Perlindungan Allah
Ketika Sarah dibawa masuk ke istana, sang raja berusaha mendekatinya. Namun, saat tangannya hendak menyentuh, tangannya langsung kaku dan tidak bisa bergerak!
Raja itu ketakutan dan memohon:
“Berdoalah kepada Tuhanmu agar aku sembuh! Aku tidak akan menyakitimu.”
Sarah pun berdoa dengan khusyuk, dan tangannya sembuh. Tapi ketika sang raja mencoba lagi, tangannya kembali kaku — bahkan lebih parah dari sebelumnya. Tiga kali hal itu terjadi, hingga akhirnya raja itu menyerah dan berkata kepada para pengawalnya:
“Kalian tidak membawakan manusia kepadaku, tapi setan! Keluarkan dia, dan berikan hadiah untuknya!”
Sebagai bentuk ketakutan dan penyesalan, raja menghadiahkan seorang pelayan wanita bernama Hajar, seorang perempuan dari Mesir yang salehah.
Kabar Gembira dan Hadiah dari Allah
Sarah kembali menemui Ibrahim yang sedang berdiri melaksanakan shalat. Saat Ibrahim selesai, ia bertanya lembut:
“Bagaimana kabarmu, wahai Sarah?”
Sarah menjawab dengan penuh syukur:
“Allah telah menggagalkan tipu daya orang kafir itu, dan Ia memberiku Hajar sebagai hadiah.”
Ibrahim pun tersenyum haru. Ia tahu, Allah tidak hanya melindungi istrinya, tetapi juga telah menyiapkan jalan untuk masa depan mereka. Sebab dari rahim Hajar kelak lahir Ismail ‘alaihissalām, nenek moyang Rasulullah ﷺ.
Kembali ke Tanah Suci
Setelah peristiwa di Mesir, Nabi Ibrahim dan Sarah kembali ke tanah Syam dengan membawa banyak ternak, hamba sahaya, dan harta benda yang Allah berkahi. Mereka menetap di daerah sekitar Baitul Maqdis.
Adapun keponakannya, Nabi Lūṭ ‘alaihissalām, diperintahkan untuk berpindah ke wilayah lembah rendah bernama Ghaur Zughar, dekat kota Sadūm, tempat masyarakatnya terkenal sangat jahat dan fasik.
Menyelamatkan Nabi Lūṭ
Suatu hari, beberapa raja yang zalim menyerang wilayah Nabi Lūṭ, menawannya, dan merampas hartanya. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi Ibrahim, beliau segera memimpin 318 orang pasukan untuk menolong keponakannya.
Dengan izin Allah, mereka menang gemilang, membebaskan Lūṭ, dan mengalahkan pasukan musuh. Setelah kemenangan itu, Ibrahim disambut oleh para raja di sekitar Baitul Maqdis dengan penuh hormat. Beliau pun kembali ke negerinya dengan rasa syukur yang mendalam.
Janji Allah untuk Keturunan Ibrahim
Allah kemudian berfirman kepada Ibrahim agar memandang ke seluruh penjuru bumi — utara, selatan, timur, dan barat. Allah berjanji:
“Semua tanah ini akan Aku wariskan kepada keturunanmu.”
Dan benar, dari keturunan Ibrahim lahir para nabi mulia:
Ishaq, Ya‘qub, Yusuf, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Isa, dan Muhammad ﷺ.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah melipat bumi untukku, dan aku melihat timur dan baratnya. Kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dilipatkan untukku.”
(HR. Muslim)
Cinta dan Kesetiaan Ibrahim kepada Sarah
Para ulama meriwayatkan bahwa selama Sarah berada di istana raja, Allah membuka tabir penglihatan Ibrahim sehingga ia dapat melihat istrinya dari kejauhan. Ia menyaksikan bagaimana Allah melindungi Sarah dari gangguan sang raja.
Pemandangan itu menenangkan hati Ibrahim, sebab ia sangat mencintainya — karena iman, kekerabatan, dan akhlaknya yang luhur. Diriwayatkan bahwa Sarah adalah wanita tercantik setelah Hawa, semoga Allah meridhainya.
Buah dari Hijrah yang Diberkahi
Demikianlah perjalanan hijrah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām — dari Babil menuju Syam, lalu ke Mesir, dan kembali ke Tanah Suci.
Hijrah yang penuh pengorbanan ini berbuah keberkahan besar: keturunan para nabi, kitab-kitab suci, dan cahaya tauhid yang menerangi dunia hingga hari ini.
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.”
(QS. Al-Anbiyā’: 73)

Komentar
Posting Komentar