Nazar Abdul Muthalib dan Penebusan Abdullah
Kisah Nazar Abdul Muthalib dan Penebusan Abdullah
🌙 Awal Nazar yang Mengejutkan
Pada masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, hiduplah seorang tokoh terhormat di Makkah bernama Abdul Muthalib, kakek Rasulullah. Ia adalah penjaga Ka‘bah dan tokoh penting dari suku Quraisy.
Suatu hari, ketika menggali sumur Zamzam — sumur yang telah lama tertimbun — ia menghadapi banyak pertentangan dari kaumnya. Dalam keadaan terdesak dan penuh tekanan, Abdul Muthalib bernazar dalam hatinya:
“Jika Allah memberiku sepuluh anak laki-laki yang dewasa dan mampu melindungiku, maka aku akan menyembelih salah satu dari mereka sebagai kurban untuk Allah di sisi Ka‘bah.”
👨👦 Saat Nazar Harus Dipenuhi
Waktu pun berlalu. Allah mengaruniai Abdul Muthalib sepuluh anak laki-laki yang kuat dan gagah. Mereka adalah:
Al-Harits, Az-Zubair, Hajl, Dhirar, Al-Muqawwim, Abu Lahab, Al-‘Abbas, Hamzah, Abu Thalib, dan Abdullah.
Ketika semuanya telah dewasa, Abdul Muthalib mengumpulkan mereka dan berkata dengan suara berat:
“Wahai anak-anakku, aku pernah bernazar kepada Allah. Kini tiba saatnya aku menunaikan janji itu.”
Anak-anaknya terdiam, tetapi mereka semua taat kepada ayahnya. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya mereka.
Abdul Muthalib menjawab:
“Ambillah masing-masing sebuah anak panah. Tulislah nama kalian di atasnya, lalu serahkan kepadaku.”
🎯 Undian di Depan Berhala Hubal
Setelah itu, Abdul Muthalib membawa anak-anaknya ke dalam Ka‘bah, menuju berhala besar bernama Hubal, tempat orang-orang Quraisy biasa meminta keputusan melalui undian.
Sepuluh anak panah khusus (disebut azlām) diletakkan di depan Hubal. Abdul Muthalib lalu berdoa dan melemparkan undian.
Ketika hasilnya keluar, semua orang menahan napas…
Yang terpilih adalah Abdullah, anak bungsu yang paling disayangi — ayah dari Nabi Muhammad ﷺ.
Tanpa ragu, Abdul Muthalib menggenggam tangan Abdullah, mengambil sebilah pisau, dan membawanya ke tempat penyembelihan di sisi berhala Isaf dan Na’ilah.
🚫 Kaum Quraisy Menghentikannya
Namun sebelum penyembelihan terjadi, orang-orang Quraisy segera datang dan menghentikannya. Mereka berteriak:
“Wahai Abdul Muthalib! Apa yang hendak kau lakukan? Ini tidak boleh! Jika engkau benar-benar melakukannya, kelak setiap orang akan menyembelih anaknya juga. Maka siapa yang akan tersisa di muka bumi?”
Perdebatan pun terjadi. Akhirnya mereka sepakat untuk mencari jalan keluar. Seorang dari Quraisy berkata:
“Pergilah ke Hijaz. Di sana ada seorang wanita peramal yang memiliki jin pengikutnya. Tanyalah kepadanya, apa yang seharusnya kau lakukan.”
🏜️ Perjalanan ke Hijaz
Abdul Muthalib pun berangkat bersama anak-anaknya menuju Khaibar, tempat wanita peramal itu berada. Wanita itu bernama Sajah.
Setelah mendengar kisah mereka, Sajah berkata:
“Kembalilah besok. Aku akan menanyakan hal ini kepada jin pengikutku.”
Keesokan harinya, ketika mereka kembali, sang peramal bertanya:
“Berapa diyat (tebusan darah) yang berlaku di antara kalian?”
Mereka menjawab:
“Sepuluh ekor unta.”
Sajah lalu memberi petunjuk:
“Kembalilah ke Makkah. Letakkan anakmu dan sepuluh ekor unta. Lakukan undian di antara keduanya. Jika keluar nama anakmu, tambahkan sepuluh ekor unta lagi dan undi lagi — teruslah begitu hingga Tuhanmu ridha. Tapi jika keluar nama unta, sembelihlah unta-unta itu, karena Tuhanmu telah ridha dan anakmu selamat.”
🕋 Undian Terakhir di Makkah
Sesampainya di Makkah, Abdul Muthalib melaksanakan petunjuk itu.
Ia menempatkan Abdullah dan sepuluh ekor unta, lalu berdoa kepada Allah dan melakukan undian.
Hasilnya: nama Abdullah.
Mereka menambah sepuluh ekor unta lagi.
Diundi lagi, hasilnya tetap Abdullah.
Begitu terus, sepuluh demi sepuluh... hingga jumlahnya mencapai seratus ekor unta.
Ketika undian terakhir dilakukan, hasilnya akhirnya keluar atas nama unta!
Orang-orang Quraisy yang menyaksikannya berkata penuh lega:
“Wahai Abdul Muthalib, Tuhanmu telah ridha!”
Namun Abdul Muthalib masih ingin memastikan. Ia mengundi tiga kali lagi, dan semuanya tetap keluar atas nama unta.
Maka disembelihlah seratus ekor unta itu sebagai kurban besar di sisi Ka‘bah.
Dagingnya dibiarkan terbuka untuk siapa pun — manusia maupun binatang — tanpa ada yang dihalangi.
🕊️ Akhir Kisah dan Hikmah
Dengan demikian, Abdullah pun selamat, dan sejak saat itu, diyat (tebusan darah) bagi seseorang dalam hukum Arab — yang kemudian juga diakui dalam Islam — ditetapkan sebesar seratus ekor unta.
Peristiwa ini menjadi bukti betapa kuatnya iman dan keteguhan janji Abdul Muthalib kepada Tuhannya, serta kasih sayangnya yang dalam kepada anaknya. Dari rahim Abdullah inilah kelak lahir manusia termulia, Nabi Muhammad ﷺ.
Sumber : Al Bidayah Wa an Nihayah

Komentar
Posting Komentar