Nabi Yusuf عليه السلام (tamat)

Sebuah Rahasia di Dalam Cawan

Suatu ketika, Yusuf ‘alaihissalam menerima saudara-saudaranya yang datang dari Kanaan untuk membeli makanan dari Mesir. Meskipun mereka tidak mengenal Yusuf, tetapi Yusuf mengenal mereka satu per satu. Kini mereka datang bersama Benyamin—adik kandung Yusuf yang sangat ia rindukan. Ia tahu bahwa inilah saatnya untuk mengungkap kebenaran, namun dengan cara yang penuh hikmah.

Dalam pertemuan itu, Yusuf memegang sebuah cawan perak (bejana menakar gandum) dan memukulkannya.

“Cawan ini berkata kepada-ku,” ucap Yusuf,
“Kalian dulunya dua belas orang laki-laki, dan kalian telah menjual saudara kalian.”

Perkataan itu menggetarkan Benyamin. Ia segera sujud kepada Yusuf (karena merasakan isyarat kuat dalam kalimat tersebut) dan berkata:

“Tanyakan kepada cawanmu, apakah saudaraku masih hidup?”

Yusuf kembali memukul cawannya dan berkata:

“Dia masih hidup, dan kamu akan melihatnya.”

Benyamin pun menjawab dengan tulus:

“Jika benar dia saudaraku, maka lakukan padaku apa pun yang engkau mau. Aku yakin, jika dia tahu tentang keadaanku, dia tak akan tinggal diam.”

Mendengar kata-kata Benyamin, hati Yusuf terguncang. Ia menahan tangisnya dan bergegas masuk ke kamar. Di sana, ia menangis, lalu mengambil wudu agar jiwanya kembali tenang, dan ia pun keluar menemui mereka kembali.


Sebuah Rencana Dibalik Tuduhan Mencuri

Yusuf memikirkan cara untuk menahan Benyamin di Mesir. Maka, ia menyusun rencana. Ia memasukkan cawan perak kerajaan itu ke dalam karung milik Benyamin saat memuatkan kiriman makanan bagi saudara-saudaranya. Cawan itu sebelumnya memang biasa digunakan untuk menakar makanan, dan kadang digunakan sebagai gelas minum.

Benyamin tidak mengetahui apa-apa.

Setelah rombongan bersiap pulang, dan mereka mulai meninggalkan Mesir dengan karung-karung makanan, tiba-tiba terdengarlah suara penyeru:

“Wahai kafilah! Kalian telah mencuri!”

(QS: Yusuf ayat 70)

Saudara-saudara Yusuf pun bingung dan membela diri:

“Demi Allah! Kami datang bukan untuk berbuat jahat di negeri ini, dan kami bukan pencuri.”
(QS Yusuf: 73)

Mereka menambahkan:

“Kami bahkan mengembalikan uang makanan yang sebelumnya ditinggalkan Yusuf di karung kami.”

Namun sang penjaga berkata:

“Kalau begitu, apa hukuman bagi pencuri jika ternyata kalian bohong?”

Tanpa sadar, para saudara menjawab:

“Barang siapa ditemukan barang itu pada kantongnya, maka dia-lah hukumannya.” (QS Yusuf: 75)

Itulah hukum mereka sendiri, dan Yusuf akan menggunakannya.

Yusuf pun mulai memeriksa karung demi karung. Ia sengaja memulai dari kakak-kakaknya, hingga akhirnya ia membuka karung Benyamin dan menemukan cawan itu.

Mereka semua terpana.


Luka Lama yang Terulang

Melihat itu, mereka berkata:

“Kalau dia mencuri, saudaranya pun pernah mencuri dulu!”
(QS Yusuf: 77)

Maksud mereka adalah Yusuf—mengungkit bahwa Yusuf dulu pernah mencuri berhala milik kakek dari ibunya, lalu menghancurkannya.

Yusuf tahu mereka sedang membicarakannya, tapi ia tetap menahan identitasnya. Ia menahan rasa sakit hati, sambil menyusun langkah berikutnya.

Benyamin pun mengucapkan:

“Orang yang meletakkan dirham di karung-karung kalian dulu, dialah juga yang meletakkan piala ini di karungku!”

Saudara-saudara lainnya hanya bisa terdiam. Mereka pun memohon agar Yusuf mau menukar Benyamin dengan salah satu dari mereka, karena sang ayah adalah orang tua yang sangat tua dan tidak akan sanggup jika kehilangan anaknya lagi.

Namun Yusuf menolak:

“Aku berlindung kepada Allah dari menahan orang yang tidak bersalah kecuali dia yang barangnya ditemukan.”


Ya’qub dalam Luka Kedua

Kakak tertua, Syam’un, akhirnya berkata:

“Bukankah kita telah berjanji kepada ayah atas nama Allah untuk menjaga Benyamin? Kita pernah gagal melindungi Yusuf dulu!”

Syam’un akhirnya tinggal di Mesir dan membiarkan yang lain pulang dan menyampaikan kabar buruk kepada ayah mereka.

Ketika mereka tiba dan menyampaikan berita, Nabi Ya’qub hanya bisa berkata:

“Sungguh, jiwa kalian telah membisikkan tindakan (buruk), maka bersabarlah dengan sabar yang indah.” (QS Yusuf: 83)

Ia berpaling dari mereka. Matanya menjadi putih karena menangis dan kesedihan yang dalam. Ia tidak buta karena penyakit, tetapi karena terlalu banyak kehilangan air mata.

Putra-putranya berkata:

“Wahai ayah kami, engkau terus menyebut Yusuf hingga engkau menjadi sangat lemah.”

Namun dengan tegas Ya’qub menjawab:

“Aku hanya mengadukan kesedihanku kepada Allah, dan aku tahu dari Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.”
(QS Yusuf: 86)

Ya’qub yakin Yusuf masih hidup. Yakin bahwa janji Allah akan terwujud.


Kesalahan-Kesalahan Kecil yang Berbuah Ujian Besar

Disebutkan dalam riwayat, bahwa Allah menegur Ya’qub karena ia pernah suatu hari tidak berbelas kasih kepada hewan, atau tidak memberi makan tetangganya ketika memasak domba. Karena itu, Allah menguji Ya’qub dengan kehilangan anaknya.

Namun ketika Ya’qub menyadari hal ini, ia bertaubat dan memohon ampun. Ia bahkan menyediakan makanan dan berkata:

“Barang siapa yang berpuasa, berbukalah di rumah Ya’qub!”


Surat dari Ayah untuk Raja Mesir

Setelah mengetahui bahwa Benyamin dituduh mencuri, Nabi Ya’qub menulis sebuah surat kepada Yusuf—yang belum ia tahu adalah sang raja Mesir. Surat itu berbunyi:

“Dari Ya’qub, isra'ilillah bin Ishaq bin Ibrahim. Kepada penguasa Mesir yang menegakkan keadilan...
Sesungguhnya kami adalah keluarga yang diuji dengan musibah. Ibrahim dilempar ke api. Ishaq hampir disembelih. Aku kehilangan anakku yang paling aku sayangi; dibawa ke padang kemudian mereka kembali dengan bajunya berlumuran darah.
Kini mereka pun mengambil anak satu ibunya, dan berkata, ‘Dia mencuri dan ditahan olehmu.’
Kami bukan keluarga pencuri, dan tidak melahirkan pencuri. Jika engkau mengembalikannya, aku bersyukur. Jika tidak, aku akan berdoa… dan doaku akan sampai kepada anak keturunan ketujuhmu.”

Yusuf membaca surat itu, dan ia tidak bisa menahan air mata.


Identitas yang Terbuka

Yusuf menangis dan berkata kepada saudara-saudaranya:

“Tahukah kalian apa yang kalian lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kalian tidak mengetahui?”

Mereka mulai menyadari…

“Apa? Apakah kamu Yusuf?!”

Yusuf menjawab, “Akulah Yusuf, dan ini saudaraku. Sungguh Allah telah memberikan karunia-Nya kepada kami.”
(QS Yusuf: 90)

Mereka semua menangis dan meminta maaf. Yusuf pun berkata:

“Pada hari ini, tidak ada celaan bagi kalian. Semoga Allah mengampuni kalian.”
(QS Yusuf: 92)


Baju, Aroma, dan Anugerah yang Kembali

Yusuf memberi mereka baju gamisnya dan berkata:

“Letakkan ini di wajah ayahku, maka matanya akan kembali melihat.”

Yahuda yang dulu membawa baju Yusuf penuh darah palsu, kini yang membawa baju Yusuf sebagai penyembuh.

Ketika kafilah mendekat dari Mesir, angin membawa aroma Yusuf ke hidung Ya’qub.

“Aku mencium bau Yusuf! Kalau saja kalian tidak menganggapku gila!”
(QS Yusuf: 94)

Anak-anaknya berkata:

“Benar-benar kebiasaan lama ayah masih mengingat Yusuf.”

Namun ketika baju itu tiba dan diusapkan ke wajah Ya'qub, matanya sembuh seketika. Ia berkata:

“Bukankah telah aku katakan, aku tahu dari Allah apa yang tidak kalian ketahui?”
(QS Yusuf: 96)


Perjumpaan yang Menghapus Nestapa

Ya’qub segera berangkat ke Mesir bersama seluruh keluarganya. Ketika mereka mendekati kota, Yusuf keluar bersama rakyat Mesir untuk menyambut mereka.

Ya’qub yang tua berjalan dengan tongkat, bertumpu pada Yahuda.

“Apakah itu Fir’aun?” tanya Ya’qub.

“Bukan, itu Yusuf, anakmu,” jawab Yahuda.

Saat mereka bertemu, Ya’qub berkata:

“Salam untukmu, wahai penghilang kesedihan…”

Mereka semua sujud kepada Yusuf, sebagai bentuk penghormatan, bukan menyembah. Dan Yusuf berkata:

“Wahai ayahku, inilah tafsir mimpiku yang dulu… kini Allah telah mewujudkannya.”
(QS Yusuf: 100)


🚪 Bagian 10: Penutup Kisah

  • Ya’qub tinggal bersama Yusuf selama 17 tahun di Mesir.
  • Ketika wafat dalam usia 120 tahun, ia berwasiat agar jasadnya dimakamkan bersama ayahnya, Nabi Ishaq.

    Maka Yusuf pun melaksanakan wasiat tersebut. Ia membawa jenazah ayahnya ke wilayah Syam, lalu menguburkannya di samping makam Nabi Ishaq, sebagaimana yang diinginkan oleh sang ayah.

    Setelah itu, Yusuf kembali ke Mesir. Di sana, ia juga membuat wasiat: apabila nanti ia meninggal dunia, jasadnya jangan dikuburkan di Mesir, melainkan hendaknya dibawa keluar dan dikuburkan di dekat para leluhur dan nabi-nabi sebelumnya.

    Wasiat ini benar-benar dipenuhi. Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam membawa Bani Israil keluar dari Mesir, beliau juga membawa serta jenazah Yusuf untuk dimakamkan bersama para nabi di tanah para leluhurnya.

    Yusuf memiliki dua orang anak: Efraim dan Mansya.

    Dari garis keturunan Efraim lahir Nun, dan dari Nun lahirlah Yusya‘ bin Nun, seorang pemuda yang kelak menjadi pengikut dan penerus Nabi Musa.

    Sementara dari garis keturunan Mansya lahirlah seorang yang juga bernama Musa, yang hidup sebelum Nabi Musa bin Imran.
    Menurut sebagian ahli Taurat, Musa ini adalah Musa al-Khidhir.

    Disebutkan pula dalam satu pendapat bahwa dari keturunan Mansya ini lahir seorang wanita bernama Rahmah, istri dari Nabi Ayyub ‘alaihissalam.


📚 Sumber :

  • ✅ «قصص الأنبياء» 
  • ✅ «الكامل في التاريخ» 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang