Nabi Yusuf عليه السلام (bagian 3)

 Mimpi Sang Raja

Di Mesir, Raja Rayyan bin Walid suatu malam melihat mimpi yang membuatnya resah.
Dalam tidurnya, tampak tujuh sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus, dan tujuh bulir gandum hijau berdampingan dengan tujuh bulir yang kering.

Keesokan harinya, ia mengumpulkan para penyihir, pendeta, peramal, dan ahli nujum. Namun mereka hanya berkata:

“Itu hanyalah mimpi kosong. Kami tidak bisa menakwilkannya.”

Di tengah kebingungan itu, salah seorang mantan penghuni penjara yang dulu selamat dari hukuman tiba-tiba teringat Yusuf. Ia berkata:

“Utuslah aku. Aku tahu orang yang bisa menakwilkannya.”


Takwil Yusuf di Penjara

Ketika utusan datang, Yusuf mendengarkan mimpi sang Raja lalu berkata:

  • Tujuh tahun pertama: Mesir akan mengalami masa subur. Tanamlah terus dan simpan gandum tetap dalam bulirnya, kecuali sedikit untuk makan.

  • Tujuh tahun berikutnya: Akan datang masa paceklik yang berat, dan negeri akan menghabiskan simpanan itu.

  • Tahun terakhir: Allah akan menurunkan hujan dan manusia kembali memeras anggur.

Utusan kembali kepada Raja dan menyampaikan takwil itu. Raja yakin bahwa Yusuf bukan orang biasa dan berkata:

“Bawalah dia kepadaku!”


Yusuf Menuntut Kejelasan

Ketika utusan datang untuk menjemputnya, Yusuf tidak langsung keluar. Ia berkata:

“Tanyakan kepada raja tentang perempuan-perempuan yang melukai tangan mereka.”

Raja pun memanggil para perempuan itu. Mereka menjawab:

“Mahasuci Allah, kami tidak mengetahui keburukan sedikit pun pada Yusuf.”

Hingga akhirnya istri Al-Aziz sendiri mengakui:

“Akulah yang membujuknya.”

Maka jelaslah bagi Raja bahwa Yusuf tak bersalah.


Yusuf Dibebaskan dan Diangkat Menjadi Orang Kepercayaan

Setelah itu Raja berkata:

“Bawalah Yusuf agar aku mengambilnya sebagai orang dekatku.”

Yusuf keluar dari penjara setelah mendoakan para penghuni penjara dan menuliskan kalimat pahit di pintunya:

“Inilah kuburan orang-orang hidup, rumah duka, tempat ujian sahabat, dan tempat bergembiranya musuh.”

Ketika ia menghadap Raja, Raja berkata:

“Hari ini engkau menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi terpercaya.”

Yusuf meminta:

“Jadikanlah aku penjaga perbendaharaan negeri.”

Setahun kemudian, ia resmi diangkat sebagai bendahara Mesir. Semua keputusan keuangan dan peradilan berada di tangannya.


Pernikahan Yusuf & Ra'il

Setelah Qithfir wafat, Raja menikahkan Yusuf dengan Ra’il (Zulaikha).
Ketika Yusuf menemuinya, ia berkata:

“Bukankah ini lebih baik daripada apa yang dahulu engkau inginkan?”

Zulaikha menjawab penuh penyesalan:

“Jangan cela aku. Dahulu aku cantik dan berkuasa, sementara suamiku tidak mendekati wanita. Sedangkan engkau, Allah menciptakanmu begitu tampan, dan aku tak mampu menahan diri.”

Yusuf mendapati ia masih perawan. Dari pernikahan itu lahirlah dua putra: Efraim dan Mansya.


Tujuh Tahun Subur & Tujuh Tahun Paceklik

Di bawah kepemimpinan Yusuf, Mesir berhasil mengumpulkan gandum dengan rapi selama tujuh tahun subur.

Ketika tahun-tahun paceklik datang, kedatangan orang dari luar negeri pun tak terhindarkan. Termasuk negeri Nabi Yakub.

Yakub mengirim putra-putranya untuk membeli makanan—namun ia menahan Bunyamin, saudara kandung Yusuf.


Pertemuan Saudara yang Tak Dikenal

Ketika saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir:

  • Yusuf langsung mengenali mereka.

  • Tapi mereka tidak mengenalinya—karena lama berpisah dan Yusuf kini tampil seperti bangsawan Mesir.

Ia bertanya:

“Apa urusan kalian?”

Mereka menjawab bahwa mereka datang untuk membeli makanan.
Yusuf menuduh mereka sebagai mata-mata agar mereka menceritakan keadaan keluarga mereka.
Ketika mereka menyebutkan bahwa mereka punya adik bungsu, Yusuf berkata:

“Bawalah dia kepadaku. Jika tidak, kalian tidak mendapat jatah lagi.”

Ia meminta satu di antara mereka menjadi sandera, dan undian jatuh pada Syam’un.

Yusuf memerintahkan pelayannya agar mengembalikan barang dagangan mereka ke dalam karung, agar mereka pasti kembali.


Kembali ke Kanaan

Saat sampai di rumah, mereka berkata:

“Ayah, Menteri Mesir sangat memuliakan kami, tapi ia menahan Syam’un dan memerintahkan kami membawa Bunyamin.”

Yakub menolak, sampai mereka memberi janji yang kuat atas nama Allah untuk menjaga Bunyamin.

Yakub pun berpesan:

“Masuklah nanti melalui pintu-pintu yang berbeda,”
karena ia khawatir mereka terkena ‘ain (mata jahat).


Pertemuan Yusuf dan Bunyamin

Ketika saudara-saudara Yusuf memasuki istana untuk kedua kalinya, Yusuf segera mengenali Bunyamin dan mendekatkannya. Ia menyediakan tempat tinggal khusus bagi rombongan itu, melayani mereka dengan layanan terbaik, dan menghidangkan makanan bagi mereka.

Ia mendudukkan setiap dua orang saudara pada satu meja makan. Lalu tampak Bunyamin sendirian, karena jumlah mereka ganjil. Melihat dirinya tak berpasangan, Bunyamin pun menangis dan berkata lirih:

“Seandainya saudaraku Yusuf masih hidup, tentu dia akan mendudukkanku bersamanya.”

Hati Yusuf luluh. Ia berkata kepada mereka:

“Saudara kalian ini sendirian.”

Maka Yusuf mendudukkan Bunyamin di sampingnya, dan makan bersamanya dengan sangat lembut dan penuh perhatian.


Malam yang Mengungkap Kerinduan

Ketika malam tiba, Yusuf membawa tempat tidur untuk masing-masing pasangan. Ia berkata:

“Hendaknya setiap dua saudara tidur bersama.”

Namun sekali lagi Bunyamin sendirian. Maka Yusuf berkata:

“Biar dia tidur bersamaku.”

Malam itu, Bunyamin tidur bersama Yusuf di tempat tidur yang sama.
Yusuf terus memeluknya, karena rindu yang telah ia pendam bertahun-tahun. Ia merangkulnya erat hingga terbit fajar.


Curahan Hati Seorang Adik

Pada malam yang penuh kehangatan itu, Bunyamin menceritakan seluruh kesedihan yang memenjarakan hatinya sejak kehilangan Yusuf:

  • betapa ayah mereka, Yakub, tak pernah berhenti menangis,

  • betapa kesedihan itu terus menempel di rumah keluarga mereka,

  • dan betapa ia sendiri merindukan saudara kandungnya setiap hari.

Mendengar itu, Yusuf berkata dengan hati yang bergetar:

“Apakah kau ingin aku menjadi saudaramu, menggantikan saudaramu yang hilang itu?”

Bunyamin memandangnya dan menjawab:

“Siapa yang bisa mendapatkan saudara sepertimu?
Tetapi, Yakub dan Rahel tidak melahirkanmu.”

Jawaban itu menghantam hati Yusuf. Ia tak kuasa menahan air matanya.


Pengakuan yang Menyatukan Dua Saudara

Yusuf kemudian berdiri, mendekati Bunyamin, merengkuhnya dan berkata sambil menangis:

“Sesungguhnya akulah saudaramu, Yusuf.
Maka janganlah engkau bersedih atas apa yang mereka lakukan kepada kita dahulu.
Sungguh, Allah telah berbuat baik kepada kita.
Dan jangan kau beritahu mereka tentang apa yang aku kabarkan kepadamu.”

Pada saat itulah, rahasia yang terpendam bertahun-tahun akhirnya terungkap antara dua saudara kandung yang terpisah sejak kecil.

Namun untuk sementara, Yusuf memilih untuk merahasiakan identitasnya dari saudara-saudara yang lain—karena rencana Allah melalui dirinya masih berlanjut.

📚 Sumber : Al-Kamil fi At-Tarikh 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang