Nabi Yusuf عليه السلام (bagian 1)

Masa Awal: Dalam Naungan Keluarga Pilihan

Ishaq, salah satu nabi mulia, wafat pada usia seratus enam puluh tahun. Ia dimakamkan di dekat ayahnya, Ibrahim, dan penguburannya dilakukan oleh kedua putranya: Ya‘qub dan ‘Ish, di ladang Hebron. Saat itu, Ya‘qub sendiri telah berusia 147 tahun.

Di antara putra-putra Ya‘qub, ada seorang anak yang dianugerahi Allah separuh dari keindahan dunia. Ia adalah Yusuf, putra dari Raḥīl. Karena cintanya yang mendalam, Ya‘qub menitipkan Yusuf kecil kepada saudara perempuannya—putri Ishaq—untuk diasuh. Wanita itu sangat menyayanginya, hingga ia enggan berpisah sebentar pun.

Namun Ya‘qub juga amat merindukan putranya. Ketika ia meminta Yusuf kembali, sang bibi memohon agar Yusuf tinggal bersamanya beberapa hari. Demikian besar rasa sayangnya, sampai ia pura-pura “kehilangan” ikat pinggang milik Ishaq, lalu mengikatkannya diam-diam di pinggang Yusuf. Menurut tradisi saat itu, siapa yang barangnya ditemukan pada seseorang, ia berhak mengambil orang itu sebagai bagian dari hukum adat. Maka bibinya menahan Yusuf hingga wafat. Barulah setelah itu Yusuf kembali ke pangkuan ayahnya.

Peristiwa inilah yang kelak disindir oleh saudara-saudaranya dengan ucapan: “Jika ia mencuri, dulu saudaranya pun pernah mencuri.”

Kecemburuan yang Tumbuh

Ketika saudara-saudara Yusuf melihat betapa besar cinta ayah mereka kepadanya, rasa iri mulai tumbuh. Perhatian Ya‘qub kepada Yusuf membuat hati mereka panas.

Saat usia Yusuf mencapai 12 tahun, ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadanya. Ia pun menceritakan mimpi itu kepada ayahnya. Ya‘qub yang bijak berkata:

“Wahai anakku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka akan membuat tipu daya terhadapmu.”

Ya‘qub juga menakwilkan mimpinya sebagai tanda bahwa Tuhan akan memilih Yusuf dan mengajarinya ilmu tafsir mimpi.

Namun istri Ya‘qub mendengar mimpi itu dan—tanpa bisa menahan diri—menceritakannya kepada anak-anaknya. Semakin membara lah rasa iri mereka. Mereka berkata:

“Matahari itu adalah ayah kita, bulan itu ibumu, dan bintang-bintang itu adalah kita. Putra Raḥīl itu ingin menjadi pemimpin atas kita!”

Rencana Keji Bersaudara

Iri berubah menjadi niat buruk. Mereka bersepakat untuk menjauhkan Yusuf dari ayahnya.

“Bunuh saja Yusuf atau buang ia ke tempat yang jauh. Setelah itu kita bertaubat dan menjadi orang yang saleh,” ujar mereka.

Namun Yahudza—yang paling bijaksana—menghalangi:

“Jangan bunuh Yusuf. Masukkan saja ia ke dalam sumur, nanti para musafir akan mengambilnya.”

Akhirnya mereka sepakat meminta izin kepada Ya‘qub agar Yusuf ikut bermain ke padang.

Permohonan Izin Kepada Ya‘qub

Dengan sopan, mereka berdiri di hadapan ayahnya dan berkata:

“Wahai ayah, izinkan Yusuf pergi bersama kami. Ia bisa bermain dan bersenang-senang. Kami akan menjaganya.”

Ya‘qub merasa sedih dan khawatir. Ia mengingat mimpinya sendiri, bahwa Yusuf berada di puncak gunung dan dikejar sepuluh serigala. Karena itu ia berkata:

“Aku khawatir ia dimakan serigala saat kalian lengah.”

Namun mereka bersumpah:

“Jika ia dimakan serigala padahal kami kelompok yang kuat, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi.”

Yusuf sendiri memohon kepada ayahnya agar diizinkan pergi. Melihat keinginannya, Ya‘qub pun mengizinkan.

Di Padang: Kasih Berubah Menjadi Kekerasan

Awalnya saudara-saudara Yusuf memperlakukannya dengan baik. Namun sesampainya di padang, sifat asli mereka muncul. Mereka memukul Yusuf dari berbagai sisi. Yusuf berteriak:

“Wahai ayahku! Jika saja engkau tahu apa yang dilakukan anak-anak para budak ini terhadap anakmu!”

Yahudza kembali mengingatkan agar mereka tidak membunuhnya. Mereka lalu membawa Yusuf ke suatu sumur yang dalam.

Dilempar ke Dalam Sumur

Mereka mengikat Yusuf, menanggalkan bajunya, dan bersiap melemparkannya. Dengan penuh harap Yusuf berkata:

“Kembalikan bajuku agar aku dapat menutupi tubuhku di sumur.”

Namun mereka mengejeknya:

“Panggillah matahari, bulan, dan sebelas bintang itu untuk menghiburmu.”

Saat Yusuf diturunkan, mereka melepaskannya di tengah sumur, berharap ia mati. Namun di dalamnya ada air; Yusuf terjatuh dan berlindung pada batu di dalam sumur.

Mereka memanggilnya lagi, seolah iba. Yusuf mengira mereka menyesal. Tetapi ketika ia menjawab, mereka justru hendak melempari batu. Yahudza kembali menghalangi.

Di saat itulah Allah mewahyukan kepada Yusuf:

“Engkau kelak akan memberitahu mereka tentang apa yang mereka lakukan ini, sedangkan mereka tidak menyadarinya.”

Yusuf pun terkurung dalam sumur selama tiga hari, hingga Allah mengutus malaikat untuk melepaskan ikatannya.

Dustanya Para Saudara

Saudara-saudara Yusuf pulang di malam hari sambil menangis. Mereka berkata:

“Wahai ayah, kami pergi berlomba dan meninggalkan Yusuf. Lalu ia dimakan serigala.”

Ya‘qub berkata tegas:

“Tidak! Diri kalianlah yang membisikkan kejahatan. Maka kesabaran yang indahlah pilihanku.”

Ketika mereka menunjukkan baju Yusuf yang utuh, Ya‘qub berkata:

“Aku belum pernah melihat serigala yang lebih penyabar daripada ini—memakan anakku tanpa merobek bajunya!”

Ia pun jatuh pingsan karena sedih yang amat dalam.

Diselamatkan Kafilah

Hari ketiga, sebuah kafilah datang dan menurunkan timba ke sumur. Yusuf berpegangan pada timba itu, hingga ia pun diangkat ke permukaan.

Kisah hidup Yusuf menuju Mesir segera dimulai dari titik itu—sebuah perjalanan panjang dari sumur gelap menuju kemuliaan.


Sumber : Al-Kāmil fī at-Tārīkh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang