Nabi Nuh عليه السلام , Hamba Allah yang banyak bersyukur

Pemandangan lanskap dramatis menjelang banjir besar di zaman Nuh. Menunjukkan langit gelap dengan awan mendung tebal, tanah gersang dan retak, serta bahtera kayu raksasa yang sedang dibangun di atas bukit. Suasana visual menegangkan dan penuh pertanda bencana, tanpa menampilkan sosok manusia.

Nabi Nūḥ: Hamba yang Bersyukur

Allah Ta‘ālā memuji Nabi Nūḥ dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur.”
(QS. Al-Isrā’: 3)

Nabi Nūḥ dikenal sebagai sosok yang selalu memuji Allah dalam setiap keadaan — baik saat makan, minum, mengenakan pakaian, atau menghadapi urusan hidupnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah ridha kepada seorang hamba yang apabila ia makan lalu memuji-Nya, dan apabila ia minum lalu memuji-Nya.”
(HR. Muslim, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī)

Inilah cerminan sifat “syakūr” — bersyukur dengan hati, ucapan, dan perbuatan. Sebagaimana dikatakan seorang penyair:

“Nikmat darimu membuatku membalas dengan tiga hal: tanganku, lisanku, dan hatiku yang tersembunyi.”


Puasa Nabi Nūḥ ‘Alaihissalām

Rasulullah ﷺ menceritakan bahwa Nabi Nūḥ memiliki kebiasaan luar biasa dalam berpuasa.
Beliau berpuasa sepanjang tahun, hanya tidak berpuasa pada dua hari raya: Idulfitri dan Iduladha.

Dalam hadis lain disebutkan:

“Nūḥ berpuasa sepanjang tahun kecuali pada dua hari raya.
Dāwūd berpuasa selang-seling (sehari puasa, sehari tidak),
dan Ibrāhīm berpuasa tiga hari setiap bulan.
Maka mereka semua dianggap berpuasa sepanjang tahun dan berbuka sepanjang tahun.”
(HR. Ibnu Mājah dan aṭ-Ṭabarānī)

Puasa mereka bukan sekadar menahan lapar, melainkan bentuk pengabdian dan kedekatan kepada Allah setiap hari.


Haji Nabi Nūḥ dan Para Nabi Terdahulu

Ketika Rasulullah ﷺ melakukan haji dan sampai di lembah ‘Usfān, beliau bersabda kepada Abū Bakr:

“Wahai Abū Bakr, tahukah engkau lembah apakah ini?
Sungguh Nūḥ, Hūd, dan Ibrāhīm pernah melewati lembah ini,
menunggang unta betina muda,
dengan tali kekang dari serat kurma,
sarung dari bulu, dan selendang dari wol.
Mereka semua berhaji ke Baitullah al-‘Atīq.”
(HR. Abū Ya‘lā)

Bayangkan — para nabi besar terdahulu menyatu dalam ibadah yang sama, berjalan di lembah yang kelak juga dilalui oleh Nabi Muhammad ﷺ.


Wasiat Bijak Nabi Nūḥ Kepada Putranya

Menjelang wafatnya, Nabi Nūḥ memanggil putranya dan berkata penuh kasih:

“Wahai anakku, aku wasiatkan kepadamu dua hal,
dan aku larang engkau dari dua hal.”

Dua wasiat itu adalah:

  1. Ucapkan “lā ilāha illallāh.”
    Kalimat ini begitu agung, hingga jika tujuh langit dan bumi ditimbang melawannya, maka kalimat itu lebih berat.

  2. Perbanyaklah ucapan “subḥānallāh wa bi ḥamdih.”
    Dengan zikir ini, segala sesuatu bertasbih dan seluruh makhluk diberi rezeki.

Dua larangan itu adalah:

  1. Jangan berbuat syirik (menyekutukan Allah).

  2. Jangan sombong.

Ketika para sahabat bertanya apa yang dimaksud dengan kesombongan, Rasulullah ﷺ menjawab:

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
(HR. Aḥmad)


Usia Panjang dan Makam Nabi Nūḥ

Allah menyebutkan bahwa Nabi Nūḥ berdakwah kepada kaumnya selama 950 tahun sebelum datang banjir besar yang menenggelamkan kaum yang zalim.
Beberapa riwayat menyebutkan beliau hidup sekitar 1.780 tahun secara keseluruhan — usia yang luar biasa panjang untuk menyebarkan kebenaran.

Tentang tempat peristirahatan terakhirnya, terdapat dua pendapat:

  • Sebagian ulama meriwayatkan bahwa makam Nabi Nūḥ berada di Masjidil Haram (Makkah).

  • Pendapat lain menyebutkan makamnya di Karak Nūḥ, Lebanon, tempat yang kini dibangun sebuah masjid untuk mengenangnya.

Wallāhu a‘lam — hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenarannya.


Sumber : Qashash al Anbiya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang