Nabi Ibrahim عليه السلام dan Raja Namrud
Asal-Usul dan Kelahiran Nabi Ibrāhīm
Ibrāhīm ‘alayhis-salām adalah putra dari Tāriḥ bin Nāḥūr bin Sārūgh bin Arghū bin Fālagh bin ‘Ābir bin Syālah bin Qainān bin Arfakhsyadz bin Sām bin Nūḥ ‘alayhis-salām.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tempat kelahirannya.
Ada yang mengatakan beliau lahir di Sūs (wilayah Ahwāz), ada yang menyebut Babilonia (Bābil), Kūtsā, dan ada pula yang berpendapat di Ḥarrān.
Namun yang pasti, ayahnya kemudian membawa keluarganya pindah dari sana.
Mayoritas ulama menyebut bahwa beliau lahir pada masa kekuasaan Raja Namrūd bin Kūsy, seorang penguasa besar yang memerintah wilayah timur dan barat bumi, dengan pusat kerajaan di Babilonia.
Ramalan Para Ahli Bintang
Ketika waktu kelahiran Ibrāhīm hampir tiba, para ahli perbintangan datang menemui Raja Namrūd.
Mereka berkata:
“Kami melihat dalam perhitungan bintang bahwa akan lahir seorang anak laki-laki di negerimu. Ia akan meninggalkan agamamu dan menghancurkan berhala-berhalamu.”
Mendengar itu, Namrūd menjadi marah. Ia memerintahkan agar semua wanita hamil ditahan di istana.
Namun, kehamilan ibu Ibrāhīm tidak diketahui siapa pun.
Ketika tiba waktunya melahirkan, ia keluar diam-diam pada malam hari menuju sebuah gua. Di sanalah Ibrāhīm lahir, lalu ia menutup pintu gua dan kembali ke rumahnya.
Ia sering datang diam-diam untuk menyusui dan merawat anaknya.
Tumbuh Ajaib di Gua
Allah menjadikan pertumbuhan Ibrāhīm luar biasa cepat — dalam satu hari, tumbuhnya seperti anak lain dalam sebulan.
Ia menyusu pada ibu jarinya, dan Allah menjadikan rezekinya mengalir dari sana.
Setelah keadaan aman, ayahnya membawa Ibrāhīm keluar dari gua.
Ketika melihat manusia dan hewan untuk pertama kalinya, Ibrāhīm bertanya penuh rasa ingin tahu:
“Apa ini, wahai ayah?”
“Ini unta, ini sapi,” jawab ayahnya.
“Kalau begitu, makhluk-makhluk ini pasti punya Tuhan,” kata Ibrāhīm polos.
Pencarian Tuhan yang Benar
Suatu malam, Ibrāhīm melihat bintang yang bersinar terang.
“Inilah Tuhanku,” katanya.
Namun ketika bintang itu tenggelam, ia berkata:
“Aku tidak menyukai yang tenggelam.”
(QS. Al-An‘ām: 76)
Lalu ia melihat bulan terbit dan berkata:
“Inilah Tuhanku.”
Tetapi ketika bulan pun terbenam, ia berkata:
“Jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat.”
(QS. Al-An‘ām: 77)
Ketika matahari terbit dan cahayanya lebih besar, ia berkata:
“Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.”
Namun ketika matahari pun tenggelam, ia berkata:
“Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan.”
(QS. Al-An‘ām: 78)
Dari sinilah Ibrāhīm mengenal Tuhannya yang sejati — Allah Yang Maha Esa.
Menolak Menjual Berhala
Ayahnya, Āzar, adalah pembuat berhala yang disembah kaumnya.
Suatu hari, ia memberikan berhala kepada Ibrāhīm untuk dijual.
Ibrāhīm menolak sambil berkata:
“Siapa yang mau membeli sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak menimbulkan mudarat?”
Tak seorang pun membelinya.
Sebagai sindiran, Ibrāhīm membawa berhala itu ke sungai dan berkata, “Minumlah!” sambil mencelupkan kepalanya ke air.
Perbuatannya ini mulai tersebar luas di kalangan masyarakat.
Dakwah kepada Ayah dan Kaumnya
Ketika tiba waktunya berdakwah, Ibrāhīm menyeru ayahnya agar menyembah Allah, namun ayahnya menolak.
Ia juga mengajak kaumnya untuk meninggalkan berhala, tetapi mereka menjawab:
“Siapa yang kamu sembah?”
“Aku menyembah Tuhan semesta alam,” jawab Ibrāhīm.
“Apakah itu Namrūd?” tanya mereka.
“Tidak, tetapi Tuhan yang menciptakanku.”
Menghancurkan Berhala
Suatu hari, ketika semua orang pergi merayakan hari besar mereka, Ibrāhīm berkata:
“Sesungguhnya aku sedang sakit.” (QS. Ash-Shāffāt: 89)
Ia tidak ikut pergi, melainkan masuk ke kuil berhala mereka dan berkata:
“Demi Allah, aku akan membuat rencana terhadap berhala-berhalamu!” (QS. Al-Anbiyā’: 57)
Lalu ia menghancurkan semua berhala, kecuali yang paling besar.
Kapak yang ia gunakan digantungkan di leher berhala besar itu.
Ketika mereka kembali, mereka terkejut:
“Siapa yang melakukan ini terhadap tuhan-tuhan kita?”
“Kami mendengar seorang pemuda bernama Ibrāhīm,” kata sebagian orang.
Dialog dengan Raja Namrūd
Ibrāhīm dibawa ke hadapan Raja Namrūd.
Namrūd bertanya:
“Apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala kami?”
“Bukan aku,” jawab Ibrāhīm, “tetapi berhala besar itu. Tanyakan saja kepadanya, jika ia bisa berbicara!”
Kaum itu saling menatap, lalu sadar, namun kembali membantah.
Ibrāhīm pun menegur mereka:
“Apakah kalian menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak memberi mudarat? Tidakkah kalian berakal?”
(QS. Al-Anbiyā’: 66–67)
Namrūd lalu berkata:
“Siapa Tuhanmu?”
“Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” (QS. Al-Baqarah: 258)
Namrūd membantah, “Aku juga bisa! Aku bunuh satu orang dan kubiarkan yang lain hidup.”
Ibrāhīm menjawab dengan tenang:
“Allah mendatangkan matahari dari timur. Maka datangkanlah dari barat!”
Namrūd pun terdiam, tak mampu menjawab.
Api yang Menjadi Dingin
Karena marah, Namrūd memerintahkan agar Ibrāhīm dibakar hidup-hidup.
Seluruh rakyat disuruh mengumpulkan kayu, bahkan wanita-wanita bernazar untuk itu.
Api yang mereka nyalakan begitu besar hingga burung yang terbang di atasnya pun terbakar.
Ketika Ibrāhīm hendak dilempar ke dalam api, Malaikat Jibrīl datang dan berkata:
“Apakah engkau ingin aku menolongmu?”
“Tidak,” jawab Ibrāhīm, “Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik Pelindung.”
Lalu Allah berfirman:
“Wahai api, jadilah engkau dingin dan penuh keselamatan bagi Ibrāhīm!” (QS. Al-Anbiyā’: 69)
Api pun menjadi sejuk.
Ibrāhīm duduk tenang di tengah api, ditemani Malaikat Bayangan (Malak azh-Zhill) yang diutus Allah.
Namrūd Terpana
Melihat Ibrāhīm tidak terbakar, Namrūd memerintahkan dibangunnya menara tinggi untuk melihatnya dari jauh.
Ia melihat Ibrāhīm duduk bersama seorang lelaki.
“Siapakah lelaki itu?” tanya Namrūd.
“Itu malaikat yang Allah kirim untuk menemaniku,” jawab Ibrāhīm.
Namrūd berkata:
“Tuhanmu sungguh besar! Aku ingin mempersembahkan korban untuk-Nya.”
Ibrāhīm menjawab:
“Allah tidak menerima persembahan dari orang yang tetap dalam kesyirikan.”
Namrūd pun terdiam. Ia mengakui kekuasaan Allah, tetapi tidak sanggup meninggalkan kekuasaannya.
Akhir Kisah
Sejak saat itu, Namrūd tidak lagi mengganggu Ibrāhīm.
Beberapa orang dari kaumnya beriman kepadanya — di antaranya Lūṭ bin Hārān, keponakannya, dan Sārah, putri pamannya.
Mereka pun bersama-sama berhijrah membawa cahaya tauhid ke negeri-negeri lain.
📚 Sumber: Al-Kāmil fī at-Tārīkh

Komentar
Posting Komentar