Nabi Ibrahim dan Ismail عليهما السلام Membangun Baitullah

 Pertemuan Ayah dan Anak Setelah Lama Berpisah

Setelah sekian lama berpisah dari keluarganya, Ibrahim kembali menuju Mekah. Ia berjalan jauh melalui padang-padang luas, teringat kepada putranya, Ismail, dan istrinya, Hajar, yang dulu ia tinggalkan atas perintah Allah. Perpisahan itu bukanlah perpisahan biasa—itu adalah ujian iman, ketundukan mutlak, dan penyerahan sepenuhnya kepada keputusan Allah.

Ketika ia sampai di Mekah, ia mendapati Ismail sedang duduk di bawah sebuah pohon besar dekat sumber air Zamzam. Pemuda itu sedang meruncingkan anak-anak panahnya—alat yang menjadi simbol kerja keras, kedewasaan, dan kesiapan dirinya menghadapi hidup.

Ibrahim berhenti sejenak, menatap pemuda itu, dan hatinya menjadi lembut. Saat Ismail melihatnya, ia berdiri dan keduanya saling merengkuh—pelukan hangat yang lama tertahan oleh jarak dan waktu.

Setelah keduanya berbincang dalam kasih yang tulus, Ibrahim memulai pembicaraan yang menjadi permulaan sebuah sejarah besar.

“Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkanku dengan suatu perintah.”

Ismail menatap ayahnya dengan wajah penuh keyakinan dan menjawab,

“Laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu.”

Ibrahim melanjutkan,

“Engkau akan membantuku?”

Dan Ismail menjawab dengan mantap,

“Aku akan membantumu.”

Dengan tenang Ibrahim menunjuk ke sebuah tempat yang berupa gundukan tanah kecil, lebih tinggi dari sekitarnya, dan berkata:

“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membangun sebuah rumah di sini.”

Itulah awal mula pembangunan Baitullah.


Petunjuk Allah Menuju Lokasi Ka’bah

Di dalam riwayat disebutkan bahwa sebelum Ibrahim dan Ismail mulai membangun, Allah memberikan petunjuk tentang lokasi persis rumah itu.

Dalam sebuah riwayat:
Allah mengirim as-Sakīnah, sebuah angin lembut yang bergerak dan memiliki dua “kepala”. Ibrahim berjalan mengikuti angin itu sampai ia berhenti di suatu titik. Angin itu kemudian membentang seperti perisai yang dibuka, menaungi area yang ia tunjukkan. Itulah tempat Ka’bah akan dibangun.

Dalam riwayat lain:
Allah mengirim sesuatu seperti awan, memiliki “kepala”, yang berbicara kepada Ibrahim:

“Bangunlah di atas bayangan-Ku, jangan engkau tambah dan jangan engkau kurangi.”

Dari dua riwayat itu, para ulama memahami bahwa Allah-lah yang menentukan bentuk, letak, dan luas bangunan pertama ini.

Ada pula riwayat lain yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril yang menunjukkan tempat Ka’bah dan mengajarkan cara pembangunannya.

Semua ini menunjukkan bahwa Baitullah bukan sekadar bangunan, melainkan rumah yang Allah pilih sendiri tempat dan ukurannya.


Ibrahim dan Ismail Memulai Pembangunan

Ayah dan anak itu kemudian mulai bekerja.

  • Ismail mengangkat dan membawa batu-batu dari berbagai arah.

  • Ibrahim menyusunnya dan meninggikan tembok-tembok Ka’bah, sesuai arahan dari Allah.

Ketika bangunan terus meninggi, Ibrahim yang sudah sepuh merasa mulai kesulitan. Maka ia mengambil sebuah batu besar, meletakkannya di tanah, dan berdiri di atasnya untuk mencapai ketinggian tembok.

Batu itu, menurut riwayat, kemudian menjadi Maqām Ibrāhīm, yang hingga kini masih tersimpan di dekat Ka’bah.

Ismail tetap setia berada di bawah, memberikan batu demi batu kepada ayahnya.

Di tengah kerja keras itu, keduanya mengucapkan doa yang abadi:

"Ya Tuhan kami, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 127)

Doa ini mereka ulangi berkali-kali sepanjang proses pembangunan.


Hajar Aswad: Titipan Langit

Ketika hampir selesai, Ibrahim berkata kepada Ismail:

“Bawakan kepadaku sebuah batu yang indah untuk diletakkan di sudut sebagai tanda bagi manusia.”

Riwayat menyebutkan bahwa saat itu gunung Abu Qubais berseru:

“Wahai Ibrahim, ada titipanmu padaku.”

Dalam riwayat lain, Jibril mendatangi Ibrahim dan menunjukkan sebuah batu hitam yang mulia—Hajar Aswad.

Batu itu diyakini awalnya berwarna putih cemerlang, namun berubah karena dosa-dosa manusia.

Ibrahim mengambil batu itu dan menempatkannya di sudut timur Ka’bah—tempat yang hingga sekarang menjadi pusat thawaf.


Perintah Allah untuk Menyeru Manusia Haji

Setelah pembangunan selesai, Allah memberikan perintah baru kepada Ibrahim:

“Serulah manusia untuk menunaikan haji.”

Ibrahim bertanya:

“Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin suaraku menjangkau manusia?”

Allah menjawab:

“Serulah, dan Aku yang akan menyampaikannya.”

Maka Ibrahim berdiri dan mengangkat suaranya:

“Wahai manusia! Allah telah mewajibkan atas kalian haji ke Baitul ‘Atiq!”

Riwayat mengatakan bahwa seruan itu sampai:

  • Kepada seluruh makhluk di langit dan bumi,

  • Kepada manusia yang sudah hidup,

  • Bahkan kepada ruh-ruh yang masih berada dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka dan rahim ibu-ibu mereka.

Semua yang telah ditetapkan akan berhaji hingga hari kiamat pun menjawab:

“Labbaik Allahumma Labbaik!”

Itulah panggilan awal perjalanan haji manusia.


Ibrahim Mengajari Ismail Manasik Haji

Setelah menyeru manusia, Ibrahim membawa Ismail untuk mempraktikkan seluruh manasik:

Di Mina

Mereka shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya di sana. Bermalam hingga Subuh.

Di Arafah

Mereka wukuf di bawah pohon arak. Di sanalah Ibrahim menjelaskan inti haji—ketundukan dan penghambaan.

Di Muzdalifah

Mereka menginap, mengumpulkan batu-batu kecil untuk jumrah.

Melempar Jumrah

Ibrahim menunjukkan tempat melempar setan, menjalankan simbol perlawanan terhadap godaan.

Penyembelihan Kurban

Ismail menyembelih hewan kurban, simbol pengorbanan dan ketaatan.

Thawaf

Ibrahim mengajarkan cara mengelilingi Baitullah.

Kembali ke Mina

Menyelesaikan manasik haji lainnya.

Riwayat mengatakan:

“Jibril-lah yang mengajarkan manasik haji kepada Ibrahim.”


Tentang Usia dan Khitan Ibrahim

Riwayat dalam kitab-kitab sejarah menyebutkan:

  • Allah memerintahkannya mengkhitan dirinya dan keluarganya sebagai bagian dari perjanjian suci.

  • Dalam hadis sahih:

    “Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan alat bernama al-Qadum.”

  • Dalam riwayat lain:

    Ia berkhitan pada usia 120 tahun, kemudian masih hidup 80 tahun setelah itu.

Para ulama menyebutkan bahwa khitan bagi laki-laki menjadi kewajiban berdasarkan perintah Ibrahim ini.


Ka’bah Tetap Berdiri Hingga Masa Quraisy

Bangunan Ka’bah hasil kerja Ibrahim dan Ismail tetap tegak selama berabad-abad, hingga suku Quraisy merombaknya 35 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ka’bah saat itu mulai rapuh karena banjir dan usia bangunan yang sangat tua.

Namun, fondasi awalnya tetap berasal dari tangan dua nabi mulia itu.


Sumber

Al-Bidayah wa al-Nihayah, Al-Kamil fii al-Tarikh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang