Makam Nabi Yusuf عليه السلام di Sungai Nil
Tahun demi tahun berlalu, hingga usia beliau mencapai seratus dua puluh tahun. Ketika ajal tiba, seluruh rakyat menangis. Mereka mengenangnya bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai nabi yang membawa keberkahan dan keadilan.
Namun setelah wafatnya Nabi Yūsuf, muncul satu persoalan besar: di mana jasad beliau akan dimakamkan?
Masing-masing kabilah dan wilayah berselisih. Setiap daerah ingin mendapat kehormatan menjadi tempat peristirahatan sang nabi. Mereka yakin, siapa pun yang menyimpan jasad Yūsuf di tanahnya, maka keberkahan Allah akan terus mengalir di sana.
Perselisihan itu hampir menimbulkan pertumpahan darah. Akhirnya, mereka mencapai satu kesepakatan yang bijak:
"Kita makamkan Nabi Yūsuf di tempat yang airnya mengalir ke seluruh negeri, agar semua rakyat Mesir mendapat bagian dari berkahnya."
Maka dibuatlah sebuah peti marmer putih, dan jasad Nabi Yūsuf pun diletakkan di dalamnya, lalu diturunkan ke tengah aliran Sungai Nil. Sejak hari itu, air Nil yang melintas di atas jasad Nabi Allah itu dipercaya membawa berkah bagi seluruh Mesir.
Empat Ratus Tahun Kemudian…
Empat abad telah berlalu. Mesir kini berada di bawah kekuasaan Fir‘aun yang zalim. Di antara rakyat tertindas itu ada satu kaum yang masih menyimpan iman kepada Tuhan Yang Esa—mereka adalah Banī Isrā’īl.
Di tengah penderitaan mereka, lahirlah seorang bayi yang kelak menjadi penyelamat: Mūsā bin ‘Imrān, nabi pilihan Allah.
Setelah diangkat menjadi rasul, Mūsā diperintah oleh Allah untuk membawa Banī Isrā’īl keluar dari Mesir menuju Negeri Syam. Maka pada suatu malam, mereka keluar secara diam-diam, membawa barang-barang seadanya, berjumlah lebih dari enam ratus ribu jiwa.
Namun ketika mereka sampai di padang luas, tiba-tiba mereka tersesat. Tidak ada jalan yang bisa mereka temukan. Nabi Mūsā pun bertanya kepada para ulama dari kaumnya,
“Mengapa kita tidak menemukan jalan keluar dari Mesir ini?”
Seorang di antara mereka menjawab dengan nada penuh kesadaran:
“Wahai Nabi Allah, dahulu Nabi Yūsuf عليه السلام telah berpesan kepada leluhur kami, agar jangan meninggalkan Mesir sebelum membawa jasadnya keluar bersama kami. Mungkin inilah sebabnya kita tertahan.”
Mūsā berkata,
“Lalu siapa yang mengetahui di mana kubur Nabi Yūsuf berada?”
Mereka saling berpandangan, hingga akhirnya seseorang berkata lirih:
“Tidak ada yang tahu kecuali seorang perempuan tua dari keturunan Bani Israil.”
Perempuan Tua dari Banī Isrā’īl
Perempuan itu pun dipanggil. Rambutnya telah memutih, tubuhnya lemah, tapi matanya menyala dengan keyakinan yang dalam.
Nabi Mūsā bertanya lembut,
“Apakah engkau tahu di mana makam Nabi Yūsuf berada?”
Ia menjawab,
“Aku tahu, tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa permintaanmu?”
“Aku ingin bersamamu di surga.”
Nabi Mūsā terdiam. Permintaan itu bukan hal kecil. Namun kemudian turunlah wahyu dari Allah,
“Wahai Mūsā, berikanlah permintaannya. Sungguh Aku telah menulis surga baginya.”
Peti Marmer di Dasar Sungai Nil
Dengan panduan perempuan itu, mereka menuju sebuah danau besar—tempat air menggenang di pinggir Sungai Nil.
Perempuan itu menunjuk ke tengah air dan berkata,
“Di sanalah beliau bersemayam.”
Nabi Mūsā memerintahkan kaumnya,
“Keringkan air ini!”
Mereka pun bekerja bersama hingga dasar danau terlihat. Kemudian perempuan itu menunjuk satu titik dan berkata,
“Gali di sini.”
Dengan penuh hormat, mereka menggali tanah itu, dan tiba-tiba cangkul mereka membentur sesuatu yang keras. Mereka mengangkatnya perlahan—sebuah peti marmer putih, berukir halus, berisi jasad Nabi Yūsuf عليه السلام.
Begitu peti itu diangkat ke permukaan, jalan menuju keluar dari Mesir tampak jelas dan terang seperti siang hari. Mereka menangis penuh haru. Allah telah menepati janji-Nya.
Perjalanan ke Baitil Maqdis
Nabi Mūsā memerintahkan agar peti itu dibawa bersama mereka. Sepanjang perjalanan, mereka menjaganya dengan penuh kehormatan, karena di dalamnya terbaring jasad seorang nabi yang mulia.
Namun sebelum sampai ke Baitil Maqdis, Nabi Mūsā wafat. Tugas mulia itu kemudian dilanjutkan oleh Yūsha‘ bin Nūn, penerus beliau.
Yūsha‘ membawa jasad Nabi Yūsuf hingga ke negeri Syam, lalu memakamkannya di dekat kota Nābulus, di sisi makam para leluhurnya: Nabi Ibrāhīm, Isḥāq, dan Ya‘qūb عليهم السلام.
Di sanalah Nabi Yūsuf beristirahat untuk selama-lamanya — setelah kisah panjang kehidupan yang penuh ujian, kesabaran, dan keindahan iman.
Hingga kini, di antara bukit-bukit tua Palestina, makam Nabi Yūsuf عليه السلام masih dikenal dan dihormati. Batu-batu tuanya menjadi saksi bisu atas perjalanan jasad suci yang menempuh ratusan tahun dari Sungai Nil menuju Tanah Suci — perjalanan seorang nabi yang selalu membawa cahaya bagi umat manusia.
Sumber : Tarikh al Quds Wal Khalil, Qishah al Hayat, Al Muntadzom

Komentar
Posting Komentar