Banjir Besar di Zaman Nabi Nuh عليه السلام
Awal Mula Kaum Nabi Nuh
Pada masa Nabi Nuh عليه السلام, manusia hidup dalam kesesatan yang panjang. Mereka sudah jauh dari ajaran tauhid yang diajarkan oleh para pendahulu mereka.
Sebagian ulama mengatakan, kaum Nabi Nuh adalah kaum yang tenggelam dalam kemaksiatan — mereka berbuat keji, kafir kepada Allah, meminum khamar, dan sibuk dengan hiburan hingga melupakan ketaatan.
Sebagian lainnya berpendapat, awalnya mereka adalah kaum yang taat, namun lama-kelamaan mereka tergelincir ke dalam kesesatan setelah mengikuti ajaran seorang bernama Biyūrāsib, tokoh pertama yang menampakkan ajaran kaum Ṣābi’īn.
Ajaran kaum Ṣābi’īn ini mengajarkan penyembahan kepada malaikat dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka berkata:
“Kita tidak mampu mengenal keagungan Allah secara langsung, maka kita beribadah melalui makhluk yang dekat di sisi-Nya — para malaikat.”
Namun karena mereka tidak bisa melihat malaikat, mereka pun membuat patung-patung dan bentuk jasmani untuk melambangkan mereka. Patung-patung itu kemudian dijadikan sesembahan, di antaranya: Wadd, Suwā‘, Yaghūts, Ya‘ūq, dan Nasr.
Inilah asal mula penyembahan berhala pertama kali di bumi. Dari sinilah muncul kekafiran, perbuatan keji, dan maksiat yang merajalela.
Dakwah Nabi Nuh عليه السلام
Ketika manusia semakin tenggelam dalam dosa dan kesyirikan, Allah mengutus Nabi Nuh عليه السلام sebagai rasul kepada kaumnya.
Beliau diutus pada usia 350 tahun dan berdakwah selama 950 tahun (seribu tahun kurang lima puluh tahun), menyeru mereka untuk meninggalkan berhala dan kembali menyembah Allah semata.
Namun, kaumnya menolak dengan sombong. Mereka bahkan memukul dan mencekik Nabi Nuh hingga pingsan. Tapi setiap kali sadar, beliau selalu berdoa:
“Ya Allah, ampunilah aku dan kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Ketika mereka semakin melampaui batas dalam maksiat, dosa mereka membesar, dan kejahatan mereka bertambah dari generasi ke generasi, hingga setiap keturunan lebih buruk dari sebelumnya, mereka berkata:
“Orang ini (Nuh) sudah gila sejak zaman nenek moyang kita, jangan terima ucapannya.”
Mereka terus memukul dan menggulung tubuhnya, lalu melemparkannya ke rumahnya, menyangka bahwa beliau telah mati. Namun, setiap kali sadar, beliau mandi lalu kembali berdakwah mengajak mereka kepada Allah.
Akhirnya Nabi Nuh memohon kepada Allah:
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan di muka bumi seorang pun dari orang-orang kafir.”
(QS. Nuh: 26)
Lalu Allah mewahyukan kepadanya:
“Tidak akan beriman di antara kaummu kecuali orang yang telah beriman.”
(QS. Hud: 36)
Perintah Membuat Bahtera
Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat sebuah bahtera besar di bawah pengawasan wahyu-Nya:
“Buatlah bahtera di bawah pengawasan dan wahyu Kami...”
(QS. Hud: 37)
Nuh pun mulai menebang kayu jati, menyiapkan besi, ter, dan bahan-bahan lainnya. Kaumnya yang lewat hanya menertawakannya:
“Hai Nuh! Engkau sekarang jadi tukang kayu setelah dulu nabi!”
Nuh menjawab dengan tenang:
“Jika kalian mengejek kami, maka kami pun akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami. Kelak kalian akan mengetahui.”
(QS. Hud: 38)
Bahtera itu dibuat dengan tiga tingkat — bagian bawah untuk burung, bagian tengah untuk hewan buas, dan bagian atas untuk manusia.
Ketika tanda yang dijanjikan Allah datang — tanūr (tempat pembakaran) mulai memancarkan air — maka Nuh tahu, saatnya telah tiba.
Turunnya Banjir Besar
Nabi Nuh membawa ke dalam bahtera:
Tiga putranya: Sām, Ḥām, dan Yāfith,
Istri-istri mereka,
Orang-orang beriman (hanya sedikit),
Serta sepasang dari setiap jenis makhluk.
Beliau juga membawa jasad Nabi Adam عليه السلام bersamanya, sebagai bentuk penghormatan kepada manusia pertama yang Allah ciptakan.
Anaknya yang lain, Yām (Kan‘ān), menolak naik karena masih kafir.
Lalu Allah menurunkan hujan deras dari langit dan memancarkan mata air dari bumi:
“Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air yang tercurah deras, dan Kami pancarkan bumi dengan mata air...”
(QS. Al-Qamar: 11–12)
Air turun selama 40 hari 40 malam, naik tinggi menutupi gunung-gunung. Bahtera pun berlayar di atas ombak sebesar gunung.
Tenggelamnya Anak Nabi Nuh
Saat air semakin tinggi, Nabi Nuh melihat anaknya berdiri di kejauhan. Beliau berseru penuh kasih:
“Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir!”
(QS. Hud: 42)
Anaknya menjawab sombong:
“Aku akan berlindung ke gunung agar selamat dari air.”
(QS. Hud: 43)
Nuh berkata:
“Tidak ada yang dapat melindungi hari ini dari ketetapan Allah kecuali yang diberi rahmat.”
Lalu datanglah ombak besar memisahkan mereka, dan anak itu pun tenggelam.
Berakhirnya Banjir dan Turunnya Rahmat
Air terus menutupi bumi hingga enam bulan sepuluh malam lamanya.
Menurut Ibnu ‘Abbās, hujan turun selama empat puluh hari tanpa henti.
Mereka naik ke bahtera pada tanggal 10 Rajab, dan keluar darinya pada hari ‘Āsyūrā’ (10 Muharram).
Selama bahtera berlayar, ia mengelilingi Tanah Haram (Makkah) selama tujuh hari, namun tidak memasukinya. Setelah itu, bahtera terus melaju hingga akhirnya berhenti di Gunung Jūdī, di wilayah Qardā, dekat Mosul.
Kemudian Allah berfirman:
“Wahai bumi, telanlah airmu! Wahai langit, berhentilah!”
(QS. Hud: 44)
Bumi pun menyerap air, dan Nuh tetap tinggal di bahtera sampai air benar-benar surut.
Setelah keluar, beliau dan para pengikutnya membangun perkampungan bernama Tsamānīn (Delapan Puluh), karena terdiri dari 80 orang laki-laki.
Akhir Kehidupan Nabi Nuh
Setelah masa yang panjang, datanglah ajal kepada Nabi Nuh عليه السلام.
Seseorang bertanya kepadanya:
“Bagaimana engkau melihat dunia ini?”
Beliau menjawab dengan bijak:
“Dunia ini seperti rumah yang memiliki dua pintu — aku masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain.”
Sebelum wafat, beliau berwasiat kepada putranya, Sām, agar menjaga iman dan meneruskan ajaran tauhid kepada keturunannya.
Pelajaran dari Kisah Nabi Nuh عليه السلام
Keteguhan dalam dakwah: Nabi Nuh berdakwah hampir seribu tahun tanpa lelah.
Kesabaran menghadapi penolakan: Beliau tetap mendoakan kaumnya meski disakiti.
Tauhid di atas segalanya: Penyembahan berhala adalah sumber kesesatan.

Komentar
Posting Komentar