Abrahah, Qullays, dan Mahmud
Awal Kisah: Kejatuhan Kerajaan Ḥimyar di Yaman
Dahulu, di negeri Yaman berdiri sebuah kerajaan besar bernama Ḥimyar. Raja terakhirnya adalah Dzu Nuwās, seorang yang kuat namun menyimpang dari jalan Allah. Ia memusuhi orang-orang beriman dari kalangan Nasrani yang hidup di negerinya, lalu menggali parit besar berisi api dan melemparkan mereka ke dalamnya hanya karena mereka beriman kepada Allah. Peristiwa itu dikenal dalam Al-Qur’an sebagai kisah “Ashḥābul Ukhdūd” — para penghuni parit berapi.
Dari tragedi itu, hanya satu orang yang selamat, bernama Daus Dzu Ṯsa‘labān. Ia melarikan diri menuju negeri Syam dan memohon pertolongan kepada Kaisar Romawi, yang saat itu beragama Nasrani. Kaisar pun merasa iba dan menulis surat kepada sekutunya, Raja Najasyi di negeri Habasyah (Ethiopia), agar menolong kaum Nasrani di Yaman dan menghukum Dzu Nuwās.
Najasyi mengirim dua panglima besar dengan pasukan yang sangat banyak: Aryāṭ dan Abrahah bin aṣ-Ṣabbāḥ, yang dikenal dengan julukan Abū Yaksūm. Mereka berlayar menyeberangi Laut Merah dan tiba di Yaman, lalu memerangi Dzu Nuwās hingga sang raja melarikan diri ke laut dan tenggelam di dalamnya.
Dengan demikian, kerajaan Ḥimyar pun jatuh ke tangan pasukan Habasyah, dan Yaman berada di bawah kekuasaan Najasyi. Kedua panglima Habasyah itu memerintah di sana bersama, namun kemudian berselisih. Mereka akhirnya bertarung satu lawan satu untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa tunggal.
Dalam pertempuran itu, Aryāṭ berhasil melukai wajah Abrahah hingga terbelah hidung dan bibirnya — sebab itulah ia disebut Abrahah al-Asyram (yang cacat wajahnya). Namun seorang budak Abrahah bernama ‘Atūdah menebas Aryāṭ hingga mati, dan Abrahah pun berkuasa atas Yaman.
Najasyi sempat murka mendengar pembunuhan itu dan bersumpah akan menyerang Abrahah. Tetapi Abrahah mengirim surat penuh kerendahan hati, menyertakan segenggam tanah dari Yaman dan potongan rambutnya, sambil berkata:
“Wahai Raja, injaklah tanah ini agar sumpahmu terpenuhi, sebab aku tunduk di bawah kakimu.”
Najasyi pun luluh dan mengampuninya. Sejak itu Abrahah diangkat sebagai raja Yaman di bawah kekuasaan Habasyah.
Gereja Megah di San‘ā’
Untuk menyenangkan hati rajanya, Abrahah berjanji akan membangun gereja terbesar di dunia di San‘ā’. Ia ingin menjadikannya pusat ibadah umat Nasrani di Jazirah Arab. Gereja itu berdiri megah dan tinggi, dindingnya dihiasi ukiran dan emas berkilauan. Orang-orang menyebutnya al-Qullays, karena saking tingginya, siapa pun yang menatapnya seolah pecinya akan jatuh.
Setelah gereja itu selesai, Abrahah mengumumkan bahwa bangsa Arab harus meninggalkan Ka‘bah di Makkah dan berhaji ke gerejanya. Namun, seruan itu membuat bangsa Arab — baik dari keturunan Adnān maupun Qaḥṭān — marah besar.
Suatu malam, seorang pemuda Quraisy menyelinap ke dalam gereja itu dan mengotorinya sebagai bentuk protes. Saat Abrahah mendengar kabar itu, wajahnya memerah karena amarah. Ia bersumpah akan berangkat ke Makkah dengan pasukan besar dan menghancurkan Ka‘bah batu demi batu.
Perjalanan Pasukan Gajah
Abrahah pun bersiap. Ia membawa pasukan yang sangat besar, disertai seekor gajah raksasa bernama Mahmūd yang dihadiahkan oleh Raja Najasyi. Ia berniat mengikatkan rantai pada tiang-tiang Ka‘bah dan menariknya hingga runtuh.
Kabar ini terdengar ke seluruh jazirah Arab. Banyak kabilah berusaha menghadangnya, namun mereka semua kalah.
Di Yaman, Dzu Nafar bersama pasukannya melawan, tetapi ditawan.
Di Khats‘am, Nufail bin Ḥabīb juga berperang, namun kalah dan dijadikan penunjuk jalan menuju Hijaz.
Di Thaif, penduduknya dari suku Tsaqīf justru keluar menyambut Abraha dengan ramah karena takut berhalanya, al-Lāt, akan ikut dihancurkan. Mereka bahkan mengirim Abu Righāl untuk menuntun Abrahah menuju Makkah.
Pertemuan dengan ‘Abdul Muṭṭalib
Setibanya di lembah al-Mughammas, pasukan Abrahah merampas harta penduduk, termasuk dua ratus ekor unta milik ‘Abdul Muṭṭalib, pemimpin Quraisy. Abrahah lalu mengirim utusan bernama Ḥanāṭah al-Ḥimyarī ke Makkah agar bertemu dengan pemimpin Quraisy dan menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk berperang, kecuali jika mereka menghalanginya menuju Ka‘bah.
Ketika mendengar itu, ‘Abdul Muṭṭalib menjawab dengan tenang:
“Kami tidak ingin berperang dengannya. Ini adalah rumah Allah yang suci. Bila Allah menghendaki, Dia sendiri yang akan melindunginya.”
Lalu ‘Abdul Muṭṭalib diajak menghadap Abrahah. Sang raja turun dari singgasananya menghormatinya karena terpikat dengan wajah nya yang tampan dan berwibawa. Abrahah bertanya, “Apa keinginanmu?”
‘Abdul Muṭṭalib menjawab, “Kembalikanlah dua ratus ekor untaku yang dirampas pasukanmu.”
Abrahah berkata marah,
“Aku datang untuk menghancurkan rumah suci agamamu, tapi engkau malah memintaku mengembalikan unta?”
‘Abdul Muṭṭalib dengan penuh keyakinan menjawab,
“Aku adalah tuan dari unta-unta itu. Sedangkan rumah itu, ia punya Tuhan yang akan menjaganya.”
Abrahah pun mengembalikan unta-unta itu. ‘Abdul Muṭṭalib lalu memerintahkan seluruh penduduk Makkah keluar menuju pegunungan, dan ia sendiri berdoa di depan Ka‘bah memohon perlindungan Allah:
“Ya Allah, sesungguhnya manusia melindungi rumahnya, maka lindungilah rumah-Mu ini.
Jangan biarkan salib mereka dan tipu daya mereka mengalahkan kekuasaan-Mu.”
Kehancuran Pasukan Gajah
Keesokan paginya, Abrahah memerintahkan pasukannya bersiap menyerang. Mereka mengarahkan gajah Mahmūd menuju Ka‘bah, namun gajah itu duduk dan tidak mau bergerak. Dipukul, ditusuk, diseret—tetapi ia tetap diam. Aneh, jika diarahkan ke Yaman atau Syam, gajah itu berjalan cepat, namun ketika diarahkan ke Makkah, ia kembali berlutut.
Tiba-tiba, dari langit muncul burung-burung kecil dari arah laut, disebut abābīl, membawa batu-batu kecil seperti biji kacang di paruh dan kakinya. Batu-batu itu dilemparkan ke arah pasukan Abrahah, dan siapa pun yang terkena langsung hancur tubuhnya atau mati seketika.
Tubuh Abrahah yang terkena batu kecil itu perlahan hancur, jari-jarinya rontok satu per satu hingga ia mati dalam keadaan mengenaskan di perjalanan pulang ke San‘ā’.
Akhir Kisah
Setelah badai batu itu berlalu, penduduk Quraisy turun dari gunung. Mereka melihat sisa-sisa pasukan gajah yang hancur berserakan di padang pasir. Tahun itu kemudian dikenal sebagai “‘Āmul Fīl” — Tahun Gajah, yang juga merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Sejak saat itu, Ka‘bah tetap berdiri kokoh sebagai lambang keagungan dan penjagaan Allah atas rumah suci-Nya, sementara nama Abrahah dan pasukan gajahnya menjadi simbol kesombongan yang dihancurkan oleh kekuasaan Tuhan.
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir

Komentar
Posting Komentar